Kamis, 30 April 2015

KILAS BALIK KRISIS EKONOMI 1997 - 1998

PEMBAHASAN:

Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde lama. Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita. Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun 1966. Selain itu, buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri, yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi. Disamping itu, pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat. Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri. Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).
Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an. Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972. Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974). Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.
Bulan September 1984, Indonesia mengalami krisis perbankan, yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet, serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga, baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987). Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997 (Tambunan,1998).
Terakhir, antara tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu ke waktu. Pertama, walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar, apresiasi nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia. Laju pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS.Kedua, pada awal tahun 1994, perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah (Tambunan,1998).
Dari tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”,  karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.
Krisis moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis. Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.

 ISI: 

A.   KRISIS RUPIAH HINGGA KRISIS EKONOMI (1997-1998)

Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris (1998), 
“Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula.”
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.
            Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath Thailand.  Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.
            Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka. Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.

1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
Pertumbuhan ekonomi (%)
7,24
6,95
6,46
6,50
7,54
8,22
7,98
4,65
Tingkat Inflasi (%)
9,93
9,93
5,04
10,18
9,66
8,96
6,63
11,60
Neraca pembayaran (US$)
2,099
1,207
1,743
741
806
1,516
4,451
-10,021
Neraca perdagangan
5,352
4,801
7,022
8,231
7,901
6,533
5,948
12,964
Neraca berjalan
-3,24
-4,392
-3,122
-2,298
-2,96
-6,76
-7,801
-2,103
Neraca modal
4,746
5,829
18,111
17.972
4,008
10,589
10,989
-4,845
Pemerintah (neto)
633
1,419
12,752
12,753
307
336
-522
4,102
Swasta (neto)
3,021
2,928
3,582
3,216
1,593
5,907
5,317
-10,78
PMA (neto)
1,092
1,482
1,777
2,003
2,108
4,346
6,194
1,833
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
8,661
9,868
11.611
12,352
13,158
14,674
19,125
17,427
(bulan impor nonmigas c&f)
4,7
4,8
5,4
5,4
5,0
4,3
5,2
4,5
Debt-service ratio (%)
30,9
32,0
31,6
33,8
30,0
33,7
33,0
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
1,901
1,992
2,062
2,11
2,2
2,308
2,383
4.65
APBN* (Rp.milyar)
3,203
433
-551
-1,852
1,495
2,807
818
456
*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
            Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.
Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98
Negara
US$/100 Uang lokal 6/30’97
12/31’97
Perubahan (%)
6/30-12/31
5/8’98
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
Thailand
4,05
2,08
-48,7
2,59
24,7
-36
Malaysia
39,53
25,70
-35,0
26,25
2,1
-33,6
Indonesia
0,04
0,02
-44,0
0,01
-53,0
-73,8
Filipina
3,79
2,51
-33,9
2,54
1,3
-33,0
Hongkong
12,90
12,90
0,0
12,90
0,0
0,0
Korea Selatan
0,11
0,06
-47,7
0,07
21,9
-36,2
Taiwan
3,60
3,06
-14,8
3,10
1,2
-13,8
Singapura
69,93
59,44
-15,0
61,80
4,0
-11,6
Sumber :Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.

a)     FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS

            Ada asap pasti ada api. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sesuatu yang terjadi, itu pasti ada penyebabnya. Begitu pula dengan adanya krisis yang terjadi, pasti ada faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Analisis dari faktor-faktor ini diperlukan, karena untuk menangani krisis tersebut tergantung dari ketepatan diagnosa. Ada beberapa pendapat mengenai faktor-faktor tersebut, antara lain :
1.      Ada sekelompok peneliti, yakni Tambunan (1998), Roubini (1998), Kaminsky dan Reinhart (1996), dan Krugman (1979), yang berpendapat bahwa penyebab utama suatu krisis ekonomi adalah karena rapuhnya fundamental ekonomi domestik dari Negara yang bersangkutan, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan terus menerus dan utang luar negeri jangka pendek yang sudah melewati batas normal.
2.      Anwar Nasution (1998:28) melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri ditambah lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar terjadinya krisis finansial.
3.      Ada kelompok peneliti lain,yakni Eichengreen dan Wyplosz (1993), Martinez-Peria (1998), dan Obstfeld (1986),yang berpendapat bahwa krisis ekonomi terjadi karena hancurnya sistem penentuan kurs tetap di Negara-negara yang fundamental ekonomi atau pasarnya baik.
4.      Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju kea rah kebangkrutan (World Bank,1998,pp. 1.7-1.11). Empat sebab itu antara lain, akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992-1997,kelemahan pada sistim perbankan, masalah governance,termasuk kemampuan pemerintah dalam menangani dan mengatasi krisis, dan yang terakhir adalah ketidakpastian politik dalam menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
5.      Lepi T.Tarmidi berpendapat bahwa penyebab utama dari terjadinya krisis adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sangat tajam. Selain itu, ada beberapa faktor lainnya menurut kejadiannya, antara lain :
a.       Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, yang memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas.
b.      Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1998 hingga 1996, yang berada dibawah fakta nilai tukar, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued.
c.       Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistim perbankan nasional yang lemah.
d.      Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal hedge fundstidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena prakek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar.
e.       Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita batas intervensi.
f.       Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman.
g.      Penanaman modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran yang diiming-imingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil, kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.
h.      IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran bantuan yang dijanjikannya dengan alas an pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Dan Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu, juga menunda bantuannya menunggu signal dari IMF.
i.        Spekulan domestik juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
j.        Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS, agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bias menarik keuntungan dan merosotnya nilai tukar rupiah.
k.      Terdapatnya keterkaitan erat dengan Yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar AS.

1.      Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).

2.      Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi system perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.

3.      Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.

4.      Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas social-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.

Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi musykil, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).

c)     DAMPAK KRISIS TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Krisis Asia berpengaruh ke mata uangpasar saham, dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah beberapa negara yang terpengaruh besar oleh krisis ini. Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya Suharto di Indonesia dan Chavalit Yongchaiyudh di Thailand. Ada peningkatan anti-Barat, dengan George Soros dan IMF khususnya, keluar sebagai kambing hitam. Secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set "Asian value", yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang superior dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRT. Krisis Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang. Krisis ini telah dianalisa oleh para pakar ekonomi karena perkembangannya, kecepatan, dinamismenya; dia memengaruhi belasan negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang, terjadi dalam waktu beberapa bulan saja. Mungkin para pakar ekonomi lebih tertarik lagi dengan betapa cepatnya krisis ini berakhir, meninggalkan ekonomi negara berkembang tak berpengaruh. Keingintahuan ini telah menimbulkan ledakan di pelajaran tentang ekonomi finansial dan "litani" penjelasan mengapa krisis ini terjadi. Beberapa kritik menyalahkan tindakan IMF dalam krisis, termasuk oleh pakar ekonomi Bank Dunia Joseph Stiglitz.
Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut.
Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.
            Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif. Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri,kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit usaha,jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah.Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.

d)    KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS

            Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani sendiri masalah krisis ini. Namun setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri, lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk meningkatkan kembali nilai tukar rupiah, tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah resmi akan meminta bantuan kepada IMF. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya ialah mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial (Fischer 1998b). Kemudian antara Indonesia dan IMF membuat nota kesepakatan, terdiri atas 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural, yang ditandatangani bersama.
            Butir-butir dalam kebijakan fiskal meliputi, tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang, usaha-usaha untuk mengurangi pengeluaran, seperti menghilangkan subsidi BBM dan listrik serta membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan yang terakhir meningkatkan pendapatan pemerintah dengan penangguhan PPN dan fasilitas pajak serta bea cukai, mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN dan memperbanyak objek pajak.
            Namun kesepakatan itu gagal, karena syarat-syarat dari IMF dirasa berat oleh Indonesia. Maka dari itu dilakukanlah negosiasi dan dihasilkan kesepakatan yang ditandatangani 15 Januari 1998. Pokok-pokok dari program IMF itu antara lain, kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter serta nilai tukar, kemudian restrukturisasi sektor keuangan yang terdiri dari program restrukturisasi bank dan memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan, dan yang terakhir adalah reformasi structural yang terdiri dari perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net dan lingkungan hidup.
            Pelaksanaan kesepakatan kedua ini kembali menghadapi bebagai hambatan, kemudian diadakan negosiasi ulang yang menghasilkan Supplementary Memorandumpada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Strategi yang akan dilaksanakan adalah menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia, memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan, memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing, menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta, dan yang terakhir adalah mengembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bangkit kembali.
Sedangkan ke tujuh appendix itu antara lain, kebijakan moneter dan suku bunga, pembangunan sektor perbankan, bantua anggaran pemerintah untuk golongan lemah, reformasi BUMN dan swastanisasi, reformasi structural, restrukturisasi utang swasta, dan hukum kebangkrutan dan reformasi yuridis.

B.   KONDISI EKONOMI INDONESIA TERKINI

Ekonomi indonesia saat ini optimis pertumbuhan ekonomi yang meningkat.dengan pertumbuhan dan pendapatan nasional yang semakin meningkat kita dapat melihat perkembangan dan kemajuan kita pada negara lain. dengan pendapatan nasional per tahun indonesia mampu memberikan kemajuan.ekonomi makro yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi saat ini.salah satu pertumbuhan ekonomi itu dapat dilihat dengan permintaan domestik masih akan menjadi penopang utama kinerja perekonomian. Selain itu, ekspor dan impor, serta investasi.
Di lihat dari sedikit perekonomian makro dibidang perbankan ini dapat kita rasakan pertumbuhan ekonomi itu meningkat.Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang triwulan I-2011 masih akan tumbuh tinggi, yakni di kisaran 6,4 persen. Sehingga, sepanjang tahun ini, perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh di kisaran 6-6,5 persen.
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengungkapkan hal itu dalam rapat kerja dengan Komisi XI (membidangi keuangan dan perbankan) DPR, Senin (14/2). “Prospek perekonomian ke depan akan terus membaik dan diperkirakan akan lebih tinggi,” kata Darmin.
Dia mengatakan, permintaan domestik masih akan menjadi penopang utama kinerja perekonomian. Selain itu, ekspor dan impor, serta investasi, juga akan tumbuh pesat. Ia menambahkan, Indonesia sudah melalui tantangan yang di 2010. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di tahun lalu, yakni 6,1 persen, akan mempermudah mencapai target pertumbuhan di 2011. Meski demikian, inflasi tinggi masih akan menjadi tantangan serius di tahun ini.
Setiap awal bulan  BPS Indonesia mengumumkan data makro ekonomi bulanan dan pekan pertama bulan Agustus ini BPS telah merilis beberapa data makro ekonomi seperti data inflasi bulan Juli 2014, data ekspor dan impor bulan Juni 2014, serta secara kuartalan BPS merilis data PDB kuartal II  tahun 2014.
Dari data-data tersebut, secara garis besar kita bisa melihat seperti apa kondisi ekonomi Indonesia terkini bahkan data PDB kuartal II tahun 2014 menunjukkan kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang kuartal kedua dan juga periode semester I 2014 yang dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2013 pada periode yang sama. Dibawah ini juga selain kondisi makro ekonomi  Indonesia juga kita bisa melihat kondisi ekonomi dari sebagian sektor riil dan sektor moneter baik itu perbankan, pasar uang dan juga pasar modal.

a)     Kondisi Makro Ekonomi Indonesia

Inflasi dan Neraca Perdagangan rilis data pertama yang dikeluarkan BPS awal bulan ini ialah data inflasi Indonesia untuk bulan Juli tahun 2014 yang tercatat alami penurunan ke level 4,53 persen (yoy), data ini tidak mengikuti trend liburan pertengahan tahun dan momentum lebaran yang selalu menunjukkan kenaikan inflasi.
Meskipun sedikit melenceng dari proyeksi ekonom namun secara bulanan inflasi Indonesia masih tercatat kurang dari 1 persen sesuai harapan. Dan sebagai informasi, pemerintah menargetkan inflasi tahun 2014 4,5% dengan deviasi kurang lebih 1%.
Dari sektor riil, BPS juga mengumumkan kinerja ekspor dan impor Indonesia yang juga menunjukkan terjadinya defisit perdagangan luar negeri dari rilis neraca perdagangan di bulan Juni lalu. Nilai ekspor Indonesia di bulan Juni 2014 mencapai US$15,42 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 4,00 persen dibanding ekspor Mei 2014, demikian juga bila dibanding Juni 2013 mengalami peningkatan sebesar 4,45 persen.
Hal yang sama juga terjadi pada nilai impor Indonesia Juni 2014  mencapai US$15,72 miliar atau naik 6,44 persen dibanding Mei 2014, demikian pula jika dibanding Juni 2013 naik 0,54 persen. Kontribusi terbesar kenaikan impor ini dari sektor non migas yang   mencapai US$12,33 miliar atau naik 11,41 persen dibanding Mei 2014, sementara bila dibanding Juni 2013 naik 1,83 persen. Namun secara semester juga impor Indonesia mengalami penurunan sama seperti dengan nilai ekspor.
Dan dilihat dari rilis neraca perdagangan yang dikeluarkan BPS terjadi defisit pada perdagangan luar negeri setelah bulan sebelumnya mengalami surplus. Laporan data neraca perdagangan Indonesia untuk bulan Juni 2014 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 305,1 juta, angka tersebut memburuk dari data bulai Mei yang mencatatkan surplus sebesar US$ 70 juta. Defisit nilai perdagangan Indonesia ini disebabkan defisit sektor migas sebesar US$ 0,60 miliar, meskipun sektor non migas surplus US$ 0,30 miliar. 
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Data kuartalan yang dirilis BPS awal pekan ini yaitu data PDB kuartal II tahun 2014 yang menunjukkan terjadinya perlambatan pada pertumbuhan ekonomi negeri ini pada periode April-Juni 2014 bahkan rilis pertumbuhan PDB ini lebih rendah dari perkiraan BI. Melambatnya pertumbuhan ini disebabkan oleh melambatnya beberapa komponen seperti menurunnya belanja pemerintah,kinerja investasi nonbangunan atau terkait dengan ekspor.
Realisasi pertumbuhan PDB pada kuartal II tahun 2014 sebesar 5,12% (yoy), yang melambat dibandingkan dengan pertumbuhan PDB kuartal I sebesar 5,22%.  Dan secara q-to-q pertumbuhan PDB kuartal II dibandingkan dengan kuartal I hanya mencapai 2,47%. Dan secara kumulatif, untuk pertumbuhan ekonomi semester I tahun 2014 hanya tumbuh 5,17% dibandingkan tahun 2013 periode yang sama.

b)    Kondisi Perekonomian Indonesia Dilihat dari PDB

Pendapat Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini menempati urutan ke-18 dari 20 negara yang mempunyai PDB terbesar di dunia. Hanya ada 5 negara Asia yang masuk ke dalam daftar yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Kelima negara Asia tersebut adalah Jepang (urutan ke-2), Cina (urutan ke-3), India (urutan ke-11), Korea Selatan (urutan ke-15).
Indonesia yang kini mempunyai PDB US$700 miliar, boleh saja bangga. Apalagi, dengan pendapatan perkapita yang mencapai US$3000 per tahun menempatkan Indonesia di urutan ke-15 negara-negara dengan pendapatan perkapita yang besar.
Pihak Swasta
Adanya lembaga – lembaga swadaya masyarakat, seperti Dompet Dhu’afa, bekerja sama dengan Institut Kemandirian yang berusaha mencetak kaum muda berpotensi meenjadi hebat sebagai pejuang ekonomi adalah cara salah satu membuat pemerataan pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh semakin banyak rakyat Indonesia.
Pihak Pemerintah
Sinergi antar kementrian  harus dibuat semakin solid dan saling mendukung sehingga tidak tumpang tindih dan lebih banyak bermanfaat bagi masyarakat. Kampanye pembentuka jiwa kewirausahaan , seperti seminar bertaraf internasional\, adalah salah satu jalan membangkitkan potensi jiwa – jiwa pejuang ekonomi yang pantang menyerah dan penuh kreativitas tinggi.
Dampak Globalisasi ekonomi positif dan dampak globalisasi negatif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia usaha. Ketika kita berfikir menjadi pengusaha dan memanfaatkan setiap peluang usaha yang kita miliki sebenarnya saat itu kita masuk kedalam sebuah sistem ekonomi dan yang paling populer adalah sistem ekonomi kapitalis yang menjadi bagian integral dari proses globalisasi. Ada banyak pengertian globalisasi yang secera umum mempunyai kemiripan salah satu pengertian globalisasi adalah proses yang melintasi batas negara di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain .
Sebagaimana sebuah sistem globalisasi ekonomi mempunyai dampak positif dan juga dampak negatif, terlepas dari pendapat pro globalisasi ekonomi dan kontra globalisasi ekonomi kita akan mencoba menelaah secara sederhana dampak postif globalisasi ekonomi dan dampak negatif globalisasi ekonomi.
Dampak positif globalisasi ekonomi ditilik dari aspek kreatifitas dan daya saing dengan semakin terbukanya pasar untuk produk-produk ekspor maka diharapkan tumbuhnya kreatifitas dan peningkatan kualitas produksi yang disebabkan dorongan untuk tetap eksis ditengah persaingan global, secara natural ini akan terjadi manakala kesadaran akan keharusan berinivasi muncul dan pada giliranya akan menghasilkan produk2 dalam negeri yang handal dan berkualitas.
Disisi lain kondisi dimana kapababilitas daya saing yang rendah dan ketidakmampuan Indonesia mengelola persaingan akan menimbulkan mimpi buruk begi perekonomian negeri ini, hal ini akan mendatangkan berbaga dampak negatif globalisasi ekonomi seperti membajirnya produk2 negeri asing seperti produk cina yang akhirnya mamatikan produksi dalam negeri, warga negara Indonesia hanya akan menjadi tenaga kasar bergaji murah sedangkan pekerjaan pekerjaan yang membutuhkan skill akan dikuasai ekspatriat asing, dan sudah barang tentu lowongan pekerjaan yang saat ini sudah sangat sempit akan semakin habis karena gelombang pekerja asing.
Dampak positif globalisasi ekonomi dari aspek permodalan, dari sisi ketersediaan akses dana  akan semaikin mudah memperoleh investasi dari luar negeri. Investasi secara langsung seperti pembangunan pabrik akan turut membuka lowongan kerja. hanya saja dampak positif ini akan berbalik 180 derajat ketika pemerintah tidak mampu mengelola aliran dana asing, akan terjadi justru penumpukan dana asing yang lebih menguntungkan pemilik modal dan rawan menimbulkan krisis ekonomi karena runtuhnya nilai mata uang Rupiah. Belum lagi ancaman dari semakin bebas dan mudahnya mata uang menjadi ajang spekulasi. Bayangkan saja jika sebuah investasi besar dengan meilbatkan tenaga kerja lokal yang besar tiba2 ditarik karena dianggap kurang prospek sudah barang tentu hal ini bisa memengaruhi kestabilan ekonomi.
Dampak positif globalisasi ekonomi dari sisi persediaan semakin mudahnya diperoleh barang impor yang dibutuhkan masyarakat dan belum bisa diproduksi di Indonesia, alih tehnologi juga bisa terbuka sangat lebar, namun kondisi ini juga bisa berdampak buruk bagi masyarakat karena kita cenderung hanya dijadikan objek pasar, studi kasus seperti produksi motor yang di kuasai Jepang, Indonesia hanya pasar dan keuntungan penjualan dari negeri kita akan dibawa ke Jepang memperkaya bangsa Jepang. Dampak positif globalisasi ekonomi dari aspek tersebut meningkatnya kegiatan pariwisata, sehingga membuka lapangan kerja di bidang pariwisata sekaligus menjadi ajang promosi produk Indonesia.
Globalisasi dan liberalisme pasar dikampayekan oleh para pengusungnya sebagai cara untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi, namun bagi para penentangnya globalisasi hanya kedok para kapitalis yang akan semakin melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan antar negara  kaya dengan negara berkembang dan miskin. Penguasaan kapital yang lebih besar dengan menciptakan pasar global terutama di dunia ketiga yang diyakini tidak akan mampu memenuhi standar tinggi produk global akan membuka peluang terjadinya penumpukan kekayaan dan monopoli usaha dan kekuasaan politik pada segelintir orang. So pilihan akan keblai kekita mana yang kita pilih Dampak Globalisasi ekonomi positif atau dampak globalisasi negatif.

c)     Kondisi Moneter Indonesia

Pada bulan Juli 2014 Bank Indonesia telah menetapkan suku bunga acuannya atau BI Rate sebesar 7,50% yang sama dengan suku bunga bulan sebelumnya, demikian juga dengan suku bunga Lending Facility tetap di level 7,50% dan suku bunga Deposit Facility tetap di level 5,75%. Harapan BI menetapkan suku bunga tersebut tercapai pada bulan Juli lalu yang menargetkan inflasi 4,5%.
Untuk pergerakan kurs Rupiah pada bulan Juli mengalami rebound secara bulanan setelah bulan sebelumnya depresiasi Rupiah melemah 3,03% (m to m) dari bulan Mei menjadi Rp.11.892 per dolar AS. Kenaikan Rupiah pada bulan Juli tercatat meningkat 2,39% yang dari awal Juli kurs Rupiah ada di level Rp.11.864 per dolar AS menjadi Rp.11.580 per dolar AS. Penguatan ini terjadi akibat ekspektasi positif dari pasar terhadap ekonomi Indonesia pasca pilpres 2014.
Dari pasar modal, sepanjang Juli 2014 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terbilang cukup memuaskan dengan  mencetak return sebesar 4.32 persen.  Angka tersebut lebih besar daripada kinerja IHSG pada Juli 2013 yang justru mengalami penurunan sebesar -3% persen. Dan selama perjalanan sebulan tersebut, IHSG sempat mencetak rekor tertinggi di level 5165,416 pada tanggal 10 Juli 2014 yakni satu hari setelah pemilihan presiden berlangsung. 
Dari keterangan diatas, terlihat kondisi perekonomian bangsa ini hingga pertengahan tahun 2014 masih optimis meskipun pertumbuhan terus terkoreksi sejak awal tahun ini. Hal yang perlu diperhatikan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan periode kuartal berikutnya dengan meningkatkan kinerja sektor ekspor setiap bulannya.
Selama ini yang menjadi hambatan pada ekspor di kontribusi dari sektor pertambangan yang terus merosot ekspornya. Namun dengan khabar terkini dari perusahaan Freeport yang akan melanjutkan ekspor konsentrat tembaga  pada pekan ini setelah sempat terhenti karena masalah pajak, ada harapan akan meningkatkan kembali ekspor bangsa ini.

d)    Perkembangan Ekonomi di Tahun 2015

Awal tahun 2015 menjadi momentum tepat untuk memprediksi kondisi perekonomian Indonesia kedepan. Sebagai salah satu negara yang baru saja mengalami perombakan politik, serangkaian kebijakan baru tentunya akan mempengaruhi proyeksi ekonominya. Meskipun laju perekonomian di tahun lalu mengalami perlambatan, namun sejumlah ahli dan ekonomi justru memprediksi bahwa di tahun 2015 perekonomian Indonesia akan mengalami peningkatan.
Pada pertengahan Januari lalu, Bank Indonesia menetapkan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,75%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 8,00% dan 5,75%. Kemudikan dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap perkembangan ekonomi Indonesia di 2014 dan prospek ekonomi 2015 dan 2016 yang menunjukkan bahwa kebijakan tersebut masih konsisten dengan upaya untuk mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4±1% pada 2015 dan 2016, dan mendukung pengendalian defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat.
Mengacu pada evaluasi terhadap perekonomian di tahun lalu, di tahun ini Bank Indonesia memperkirakan  perekonomian Indonesia semakin baik, dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan stabilitas makroekonomi yang tetap terjaga, ditopang oleh perbaikan ekonomi global dan semakin kuatnya reformasi struktural dalam memperkuat fundamental ekonomi nasional.
Perekonomian Indonesia tahun 2014 diprakirakan tumbuh sebesar 5,1%, melambat dibandingkan dengan 5,8% pada tahun sebelumnya. Dari sisi eksternal, perlambatan tersebut terutama dipengaruhi oleh ekspor yang menurun akibat turunnya permintaan dan harga komoditas global, serta adanya kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah. Meskipun ekspor secara keseluruhan menurun, ekspor manufaktur cenderung membaik sejalan dengan berlanjutnya pemulihan AS. Dari sisi permintaan domestik, perlambatan tersebut didorong oleh terbatasnya konsumsi pemerintah seiring dengan program penghematan anggaran.
Sementara itu, kegiatan investasi juga masih tumbuh terbatas. Kinerja pertumbuhan ekonomi yang masih cukup tinggi terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tetap solid. Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih tinggi, yaitu tumbuh pada kisaran 5,4-5,8%. Berbeda dengan 2014, di samping tetap kuatnya konsumsi rumah tangga, tingginya pertumbuhan ekonomi di 2015 juga akan didukung oleh ekspansi konsumsi dan investasi pemerintah sejalan dengan peningkatan kapasitas fiskal untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif, termasuk pembangunan infrastruktur.
·         Dari Segi Properti
Dan tidak kalah seksinya jika membahas perkembangan ekonomi dari segi properti, seperti psatnya pertumbuhan pusat perbelanjaan di JABODETABEK dan beberapa kota besar seperti Bandung dan Surabaya. Berdasarkan riset Boston Consulting Group, Indonesia saat ini memiliki 45 juta orang yang tergolong dalam kelas menengah yang memiliki kebiasaan membelanjakan uangnya di luar kebutuhan utama, hal inilah yang memicu pertumbuhan pusat perbelanjaan tersebut. Namun tidak berhenti di pertumbuhan pusat perbelanjaan saja. Pertumbuhan positif pun diperkirakan akan dialami semua bagian sektor seperti apartemen, perkantoran komersial, hotel, maupun kawasan industri.
·         Dari Segi Industri Petrokimia
Industri petrokimia di Indonesia masih dalam tahap berkembang. Konsumsi per kapita saat ini rendah dibandingkan dengan Negara lainnya di ASEAN. Meskipun permintaan yang rendah, namun tingkat pertumbuhan yang terjadi tergolong sehat pada 5 – 8% per tahun yang diperkirakan akan maju.
·         Dari Segi Gas Alam
Indonesia memproduksi sekitar 3 triliun kubik gas alam setiap tahunnya dan itu mengalami pertumbuhan baik sekitar 2,5 – 3,0% setiap tahunnya. Gas alam menyumbang 25% dari pasokan energy dalam negeri. Indonesia sendiri merupakan salah satu eksportir terbesar gas alam cair di dunia. Permintaan domestik untuk gas alam diperkirakan akan lebih besar dari pasokan domestic di tahun-tahun mendatang karena produsen gas dapat menuntut harga yang lebih tinggi di pasar internasional.

e)     Permasalahan Ekonomi Indonesia Tahun 2015

Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dollar Amerika Serikat makin tak berdaya dan hampir menembus level psikologis. Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia menunjukkan, rupiah pagi ini diperdagangkan pada level 12.993 per dollar AS. Rekor terlemah setelah krisis moneter 1998, kurang lebih 15 tahun terakhir. Kondisi ini sepertinya belum dianggap sesuatu yang mengkhawatirkan para pemangku kepentingan negeri ini, karena mengangggap pergerakan naik turun rupiah adalah hal yang sangat biasa dan masih dalam batas kewajaran. Dan argument dasar yang sering dikemukakan adalah bahwa pelemahan ini lebih banyak diakibatkan oleh faktor eksternal bukan fundamental. Tetapi untuk lebih detail kita coba urai persoalan yang sesungguhnya.
·         Sentimen eksternal
Market global mengalami twin shocks yaitu harga komoditas dunia yang cenderung menurun dalam waktu yang bersamaan seperti Batu bara, karet, dan kelapa sawit. Dan harga minyak mentah dunia yang belum membaik walaupun sudah bergerak naik hingga USD 60 per barrel. Disisi yang lain ekonomi eropa juga masih belum pulih. Tiongkok sebagai salah satu lokomotif ekonomi dunia juga mengalami pertumbuhan yang melambat, jepang bahkan sempat mengalami resesi akibat pertumbuhan ekonomi yang negative selama tiga kuartal berturut2. Namun disisi yang berbeda ekonomi amerika serikat justru mengalami peningkatan, seiring rilis data2 ekonomi yang dikeluarkan otoritas pemerintahan dan akan semakin menguat seiring rencana percepatan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat ( The Fed ).
·         Kondisi Makro Ekonomi Domestik kekinian
Berdasarkan data statistic yang dikeluarkan Bank Indonesia, Utang Luar negeri per November 2014 sebesar 294,389 Milliar Dollar. Yang terdiri dari Utang pemerintah 127,289 Milliar Dollar, dan Utang swasta 160,544 Milliar Dollar serta utang BI 6,565 Milliar Dollar. Cadangan devisa Indonesia per akhir Januari 2015 sebesar 114,25 Milliar Dollar meningkat 2,39 Milliar Dollar dibandingkan dengan cadangan devisa per akhir desember 2014. Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hari ini mencatat rekor terbaru sepanjang massa di level 5.477. Sedangkan untuk inflasi Januari 2015 tercatat sebesar 6.96 %, terjadi penurunan bila dibandingkan laju inflasi December 2014, yang sebesar 8.36 %.
Apa makna angka2 tersebut diatas? Kita coba telaah lebih lanjut. Dengan cadangan devisa sebesar 114,25 Milliar Dollar ternyata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan impor selama 6.5 bulan saja, bandingkan dengan cadangan devisa brazil yang sama2 negara emerging market yang mencapai US$361 milliar dollar per akhir Januari 2015 (tradingeconomics.com). Cadangan devisa kita bertambah karena disebabkan oleh penerbitan obligasi global oleh pemerintah bukan karena hasil ekspor, ekspor kita 65 % adalah produk komoditas ( produk primer ) yang notabene harganya saat ini cenderung melemah, karenanya produk komoditas saat ini tidak bisa diharapkan untuk memasok Dollar. Akibatnya jika terjadi goncangan yang sangat besar, Bank Indonesia tidak mempunyai cadangan devisa yang cukup lebar untuk kebijakan sterilisasi di pasar valas. Pendek kata cadangan devisa kita saat ini sangat riskan untuk menopang nilai tukar rupiah yang dipatok APBNP 2015 sebesar 12.500 USD. Diperparah lagi dana hasil ekspor banyak parkir diluar negeri, Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) memperkirakan, total asset orang Indonesia di luar negeri mencapai USD 1,2 trilliun atau Rp 3.000 trilliun (metrotvnews.com 29/1/2015) suatu jumlah yang sangat fantastis. Dana tersebut jauh lebih banyak dari nilai belanja APBN 2015 Indonesia yang sebesar 1.994,9 Trilliun.
Disisi lain 70 % total barang impor merupakan bahan baku, barang substitusi impor masih dianggap langka. Bisa dibilang dari bangun tidur sampai tidur lagi kita diserbu oleh barang2 produksi luar negeri. Ketahanan pangan kita sangat rapuh, beras, kedele, daging sapi bahkan garampun kita masih harus impor. Lele yang merupakan makanan rakyatpun, menurut Ibu Susi menteri kelautan, ternyata pakannya masih impor, begitu juga Bahan Bakar Minyak ( BBM ) yang merupakan barang sangat strategis. Bisa dibayangkan jika kecenderungan rupiah terus menerus melemah apalagi dalam waktu yang relatif lama, cadangan devisa bisa habis terkuras hanya untuk sterilisasi rupiah, dan bisa dipastikan harga2 barang akan meningkat secara tajam. Walaupun angka inflasi sendiri relative stabil bahkan menurun 1.4 % terhitung dari Desember 2014 ke Januari 2015, tetapi perlu dicatat terjadinya deflasi saat ini hanya karena penurunan harga BBM. Tetapi ketika rupiah melorot tajam, akan terjadi hal yang sebaliknya bahkan bisa terjadi hiperinflasi.
Portofolio hutang yang lebih besar dibandingkan cadangan devisa tentunya juga sangat mencemaskan, apalagi jika tingkat hutang luar negeri swasta jauh lebih tinggi dibandingkan pemerintah. Dengan rezim devisa bebas yang kita anut, sulit untuk mengontrol posisi hutang swasta. Jika dollar terus menerus menguat, bisa dipastikan hutang swasta pun akan membengkak berkali2 lipat. Ada teori konspirasi yang mengemukakan, bahwa hutang luar negeri swasta kita sengaja akan dikerek hingga melewati batas psikologis bobot currency mismatch dari Debt Service Ratio ( DSR ) yaitu jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Sehingga ketika nilai dollar terlalu tinggi dalam waktu relatif lama, perusahaan2 nasional akan banyak yangdefault, sehingga memudahkan para bankir2 hitam kelas kakap dunia akan membeli obral perusahaan2 Indonesia. Pola yang berulang terjadi, persis ketika krismon 98 dahulu, walaupun secara fundamental dan prospek usaha perusahaan2 tersebut bisa dikatakan sehat, akibat hutang jatuh tempo yang meningkat drastic, membuatcashflow mengering sehingga banyak asset2 strategis baik swasta maupun BUMN2 kita diobral murah dan jatuh ketangan asing.
Disisi lain situasi politik yang cenderung rentan gejolak, memungkinkan investor akan hengkang mencari daerah safe heaven baru. Karena bagaimanapun aliran uang hot money akan mencari daerah yang lebih stabil dengan tingkat keuntungan yang lebih menarik. Ketimbang harus menanggung resiko karena gejolak politik yang tidak menentu. Adapun peningkatan IHSG yang terjadi adalah semata2 karena sentimen jangka pendek semata, bukan karena keinginan berinvestasi dalam jangka yang lebih panjang
·         Solusi alternative
Untuk solusi jangka pendeknya ada beberapa solusi yang bisa digunakan. Yang Pada prinsipnya adalah keharusan untuk mengurangi penggunaan dollar amerika sebagai instrumen transaksi pembayaran internasional. Sebagai alternative bisa menggunakan hard currency lainnya misalkan dengan euro, Yen atau Yuan. Ini bisa dilakukan dengan kerjasama bilateral G to G atau B to B dengan negara tertentu, yang pastinya harus didukung pemerintah negara masing2. Rusia sudah melakukan kerjasama dengan pemerintah Tiongkok untuk menggunakan Yuan sebagai alat pembayaran transaksi luar negerinya untuk mengurangi ketergantungan kepada dollar amerika.
Yang kedua adalah mendorong digunakannya pola perdagangan barter seperti era presiden Habibie, dimana pesawat ditukar dengan beras ketan. Ini adalah ide brilliant dari Habibienomics yang pada waktu itu justru mendapatkan kecaman bernada merendahkan yang luar biasa dari masyarakat kita sendiri, padahal ada manfaat yang tersembunyi yang tidak bisa dipahami oleh kebanyakan orang. Apalagi hampir semua raw material yang digunakan oleh negara2 industri ada di Indonesia, situasi ini harus menjadi strength point untuk menaikkan posisi tawar dalam bertransaksi. Karena bagaimanapun tanpa bahan baku yang memadai dan berkelanjutan, industry manufaktur tidak akan berjalan secara maksimal.
Tindakan yang harus dilakukan selanjutnya adalah membangun iklim usaha yang kondusif dengan cara mempermudah regulasi dengan memangkas birokrasi menjadi perizinan satu pintu, menghapuskan biaya2 siluman yang tidak perlu ( high cost economy ) sehingga perekonomian akan berjalan secara efisien. Jaminan stabilitas keamanan juga menjadi pertimbangan utama dalam berinvestasi, karena bagi investor bagaimanapun dana harus cepat diputar ditempat yang aman dan menguntungkan.
Berikutnya Bank Indonesia harus memperketat arus dana yang akan berpindah keluar negeri ( capital outflow ) dengan cara menambah syarat2 atau klausul tertentu dalam prosedur administrasinya, disisi sebaliknya arus uang masuk ( capital inflow ) harus dipermudah dengan prosedur yang jauh lebih “ramah”. Tindakan yang juga harus dipikirkan adalah harus ada upaya “paksa” menarik dana2 orang Indonesia yang parkir diluar negeri. Kebijakan ini tidak bisa cukup hanya dengan himbauan semata, perlu pendekatan secara legal formal. Misalkan saja ada sanksi atau insentif tertentu, jika dalam batas waktu tertentu pembayaran transaksi ekspor sudah diterima, maka devisa tersebut diwajibkan masuk kedalam bank account di dalam negeri. Jadi jika ada punishment maka seyogianya harus juga disediakanreward yang menarik supaya kebijakan dapat berjalan secara efektif dan business friendly
Sedangkan solusi jangka panjangnya adalah terbangunnya supremasi dan kepastian hukum ( law enforcement ). Tanpa adanya perlindungan hukum yang memadai bisa dipastikan Investor akan berbondong2 merelokasi bisnisnya ke Negara lain. Disisi lain investor Luar negeri juga harus didorong untuk menanamkan investasinya secara langsung ( Foreign direct investment ) karena bisa menghasilkan multiplier effect yang nyata kepada masyarakat. Tidak hanya keharusan untuk menyerap tenaga kerja local saja tetapi juga diharuskan untuk menggunakan kandungan local yang maksimum sehingga manfaatnya akan semakin besar dirasakan masyarakat. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan, disisi lain tentunya juga wajib memenuhi dan memanjakan kebutuhan2 dasar investor, seperti penyediaan dan perbaikan infrastruktur jalan, jembatan, sarana komunikasi, serta aliran listrik dan instalasi air.
Bagaimanapun Indonesia masih menjadi acuan utama investor, tidak hanya local tetapi juga dunia. Pasar yang luas dan sumber daya alam yang melimpah merupakan daya tarik tersendiri dibandingkan negara2 lain, ibarat bunga yang selalu dikelilingi oleh kumbang2. Tetapi kalau para pemangku kepentingan seolah2 bersikap bahwa sentimen2 yang terjadi saat ini hanya temporary sifatnya, tanpa didukung kesiapan kebijakan fiscal dan moneter yang terintegrasi dalam rangka menghadapi the worst thing maka kekhawatiran terjadi krisis moneter jilid kedua adalah sebuah keniscayaan. Akankah Indonesia akan mengalami krisis moneter jilid dua? Kita lihat apa yang terjadi nanti.

KESIMPULAN:

            Indonesia mengalami krisis moneter bukan baru sekali ini saja. Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia sudah sering mengalaminya. Krisis yang paling parah terjadi pada pertengahan tahun 1997. Pada saat itu, Indonesia berada dibawah pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), dimana kebijakan-kebijakan ekonominya telah menghasilkan kemajuan ekonomi yang pesat. Namun disamping itu, kondisi sektor perbankan memburuk dan semakin besarnya ketergantungan terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan impor, yang membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997. Keadaan ini kemudian diperburuk dengan adanya krisis nilai tukar bath Thailand yang menyebabkan nilai tukar dollar menguat. Penguatan nilai tukar dollar ini berimbas ke rupiah dan menyebabkan nilai tukar rupiah semakin anjlok.
            Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Namun ada dua aspek penting yang menunjukkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia menjelang krisis, yakni saldo transaksi berjalan dalam keadaan defisit yang melemahkan posisi neraca pembayaran dan adanya utang luar negeri jangka pendek yang tidak bisa dibayar pada waktu jatuh tempo.
            Terjadinya krisis ini menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian Indonesia, di dalam segala aspek kehidupan. Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah ini lebih besar daripada dampak positif yang ditimbulkan.
            Dalam menangani krisis ini, pemerintah tidak dapat menanganinya sendiri. Karena merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung sendiri, lebih lagi cadangan dollar AS di BI sudah mulai menipis. Oleh karena itu, pemerintah meminta bantuan kepada IMF. IMF adalah bank sentral dunia yang fungsi utamanya adalah membantu memelihara stabilitas kurs devisa Negara-negara anggotanya dan tugasnya adalah sebagai tumpuan akhir bagi bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas.